Saturday 15 June 2013

Masalah Deforestasi dan Konflik Antara Perhutani dengan Masyarakat di Sekirar Hutan Sebagai Akibat Lemahnya Norma Sosial

Korban bencana banjir dan longsor adalah mereka yang tinggal disekitar kawasan hutan. Bencana yang terjadi itu disebabkan karena pengelolaan hutan yang tidak mengikuti nilai-nilai social, budaya dan terutama ekologis. Itu juga terjadi karena hutan tidak dikelola secara berkelanjutan, misalnya menebang hutan tanpa dilakukan penanaman kembali.
Hutan terus mengalami kerusakan dan kerugian yang tidak hanya diakibatkan pencurian kayu dan perusakan tanaman, tetapi juga diakibatkan banyak faktor lain. Jika pada hutan terus terjadi tekanan, maka hutan akan semakin berkurang dan bencana dampak ekologi akan menerus ke sektor-sektor lain dan akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Dan yang menjadi inti dari persoalan adalah bagaimana mempertemukan kepentingan kelestarian sumberdaya hutan dengan persoalan kesejahteraan berjuta orang masyarakat desa sekitar hutan yang berada dalam garis kemiskinan.
Adanya Penyusunan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RKPH) seharusnya menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan hutan, tetapi ternyata tidak mengalami perubahan mendasar sebagai sistem perencanaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat desa sekitar hutan dan pemerintah daerah.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi deforestasi dan konflik adalah dengan penerapan sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), yang merupakan sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh perum Perhutani dan masyarakat desa sekitar hutan dengan pihak yang berkepentingan dengan jiwa berbagi, sehingga tercapai kepentingan bersama dalam fungsi dan pemantapan sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan lestari.
Masyarakat yang berada di sekitar hutan maupun didalam hutan berinteraksi secara langsung dengan hutan merasakan dampak keberadaan hutan secara langsung, baik dalam arti positif maupun negatif. Maka, itu menjadi alas an masyarakat di sekitar hutan ditempatkan sebagai mitra utama pengelolaan hutan yang lestari. Namun, keterlibatan masyarakat dalam PHBM hanya sebagai pemadam kebakaran dan pengaman yang mengatasi deforestasi dan konflik, bukan menjadi bagian dari sistem perencanaan sumberdaya hutan secara menyeluruh.
Masalah yang muncul dalam PHBM itu sendiri antara lain berupa belum mantapnya bentuk kelembagaan misalnya dalam bentuk komunikasi, persoalan hak kelola, keterlibbatan para pihak, perjanjian kerjasama dan pembagian hasil.
Proses deforestasi dan konflik selalu melibatkan interaksi dari masyarakat dengan sumberdaya hutan, adanya peran perhutani dan adanya kebijakan dari pemerintah daerah. Keadilan dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditentukan adanya partisipasi dan interaksi masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya kolektif.
Dalam prosesnya deforestasi dipengaruhi oleh norma sosial yang dengan tradisi dan aturan yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Lemahnya kepercayaan berupa hak kelola, relasi sosial, unsur norma berupa perjanjian kerjasama dan pembagian hasil menyebakan pelaksanaan pengelolaan yang ada berjalan dengan tidak baik. Sikap dalam menghadapi konlik yang ada juga lemah, lebih dengan cara menghindar dan kompromi. Harusnya akan kuat bila ada sikap yang mau berkompetisi, berkolaborasi dan ada akomodasi.
Dengan sikap Perhutani yang tidak konsisten dalam menjalankan kebiijakannya untuk menyelesaikan deforestasi dan konflik mengakibatkan tidak adanya terbangun relasi sosial yang baru yang akan menumbuhkan rasa saling percaya, saling hormat atau respek dan saling menguntungkan antara Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan. Ini terjadi ketika ada fakta bahwa peraturan itu tidak dijalankan dengan baik sehingga timbul konflik, padahal normatifnya peraturan tersebut harus dilaksanakan agar tercapai tujuan bersama.

No comments:

Post a Comment