Korban bencana banjir dan
longsor adalah mereka yang tinggal disekitar kawasan hutan. Bencana yang
terjadi itu disebabkan karena pengelolaan hutan yang tidak mengikuti
nilai-nilai social, budaya dan terutama ekologis. Itu juga terjadi karena hutan
tidak dikelola secara berkelanjutan, misalnya menebang hutan tanpa dilakukan
penanaman kembali.
Hutan terus mengalami
kerusakan dan kerugian yang tidak hanya diakibatkan pencurian kayu dan
perusakan tanaman, tetapi juga diakibatkan banyak faktor lain. Jika pada hutan
terus terjadi tekanan, maka hutan akan semakin berkurang dan bencana dampak
ekologi akan menerus ke sektor-sektor lain dan akan berdampak pada kehidupan
masyarakat secara luas. Dan yang menjadi inti dari persoalan adalah bagaimana
mempertemukan kepentingan kelestarian sumberdaya hutan dengan persoalan
kesejahteraan berjuta orang masyarakat desa sekitar hutan yang berada dalam garis
kemiskinan.
Adanya Penyusunan Rencana
Pengaturan Kelestarian Hutan (RKPH) seharusnya menjadi pedoman dalam
pelaksanaan pengelolaan hutan, tetapi ternyata tidak mengalami perubahan
mendasar sebagai sistem perencanaan sumberdaya hutan yang melibatkan masyarakat
desa sekitar hutan dan pemerintah daerah.
Salah satu upaya yang
dilakukan untuk mengatasi deforestasi dan konflik adalah dengan penerapan
sistem Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), yang merupakan sistem
pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh perum Perhutani dan
masyarakat desa sekitar hutan dengan pihak yang berkepentingan dengan jiwa
berbagi, sehingga tercapai kepentingan bersama dalam fungsi dan pemantapan
sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan lestari.
Masyarakat yang berada di
sekitar hutan maupun didalam hutan berinteraksi secara langsung dengan hutan
merasakan dampak keberadaan hutan secara langsung, baik dalam arti positif
maupun negatif. Maka, itu menjadi alas an masyarakat di sekitar hutan
ditempatkan sebagai mitra utama pengelolaan hutan yang lestari. Namun,
keterlibatan masyarakat dalam PHBM hanya sebagai pemadam kebakaran dan pengaman
yang mengatasi deforestasi dan konflik, bukan menjadi bagian dari sistem
perencanaan sumberdaya hutan secara menyeluruh.
Masalah yang muncul dalam
PHBM itu sendiri antara lain berupa belum mantapnya bentuk kelembagaan misalnya
dalam bentuk komunikasi, persoalan hak kelola, keterlibbatan para pihak,
perjanjian kerjasama dan pembagian hasil.
Proses deforestasi dan
konflik selalu melibatkan interaksi dari masyarakat dengan sumberdaya hutan,
adanya peran perhutani dan adanya kebijakan dari pemerintah daerah. Keadilan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditentukan adanya partisipasi dan interaksi
masyarakat yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya kolektif.
Dalam prosesnya
deforestasi dipengaruhi oleh norma sosial yang dengan tradisi dan aturan yang
ada baik tertulis maupun tidak tertulis. Lemahnya kepercayaan berupa hak
kelola, relasi sosial, unsur norma berupa perjanjian kerjasama dan pembagian
hasil menyebakan pelaksanaan pengelolaan yang ada berjalan dengan tidak baik.
Sikap dalam menghadapi konlik yang ada juga lemah, lebih dengan cara menghindar
dan kompromi. Harusnya akan kuat bila ada sikap yang mau berkompetisi,
berkolaborasi dan ada akomodasi.
Dengan sikap
Perhutani yang tidak konsisten dalam menjalankan kebiijakannya untuk
menyelesaikan deforestasi dan konflik mengakibatkan tidak adanya terbangun
relasi sosial yang baru yang akan menumbuhkan rasa saling percaya, saling
hormat atau respek dan saling menguntungkan antara Perhutani dengan masyarakat
sekitar hutan. Ini terjadi ketika ada fakta bahwa peraturan itu tidak
dijalankan dengan baik sehingga timbul konflik, padahal normatifnya peraturan
tersebut harus dilaksanakan agar tercapai tujuan bersama.
No comments:
Post a Comment