Friday 8 March 2013

Gajah Sumatera

Nama latin: Elephas maximus sumatrensis

Ciri-ciri Fisik
Gading gajah Sumatera jantan relatif lebih pendek jika dibandingkan sub-species gajah lainnya, sedangkan gajah betina memiliki gading yang sangat pendek dan tersembunyi di balik bibir atas. Ketahanan hidup gajah cenderung berbeda-beda. Gajah-gajah yang dipelihara dengan baik mampu bertahan hidup hingga 70 tahun, sedangkan di alam bebas dengan kondisi ancaman yang tinggi – usianya bisa lebih singkat. Tinggi gajah jantan Sumatra dewasa bisa mencapai antara 1,7 – 2,6 meter.

Gajah Sumatera adalah salah satu dari sub-spesies gajah Asia dan semua gajah Asia digolongkan sebagai satwa terancam punah (endangered) dalam daftar merah spesies terancam yang dirilis Lembaga Konservasi Dunia IUCN. Gajah Sumatera menghadapi ancaman serius berupa aktivitas pembalakan liar, penyusutan dan fragmentasi habitat, pembunuhan akibat konflik dan perburuan. Kelangsungan hidup populasi gajah ini dalam jangka panjang terancam oleh cepatnya konversi hutan menjadi perkebunan dan tanaman komersial. Saat ini populasi gajah Sumatera adalah antara 2,400 – 2,800 ekor.

Gajah Sumatera merupakan ‘spesies payung’ bagi habitatnya dan mewakili keragaman hayati di dalam ekosistem yang kompleks tempatnya hidup. Artinya konservasi satwa besar ini akan membantu mempertahankan keragaman hayati dan integritas ekologi dalam ekosistemnya, sehingga akhirnya ikut menyelamatkan berbagai spesies kecil lainnya. Dalam satu hari, gajah mengonsumsi sekitar 150 kg makanan dan 180 liter air dan membutuhkan areal jelajah hingga 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman dalam kotoran mamalia besar ini akan tersebar ke seluruh areal hutan yang dilewatinya dan membantu proses regenerasi hutan alam.

Ancaman
Ancaman utama bagi gajah Sumatera adalah hilangnya habitat mereka akibat aktivitas penebangan hutan yang tidak berkelanjutan dan disusul akibat perburuan dan perdagangan liar. Pulau Sumatera merupakan salah satu wilayah dengan laju deforestasi hutan terparah di dunia dan populasi gajah berkurang lebih cepat dibandingkan jumlah hutannya. Penyusutan atau hilangnya habitat satwa besar ini telah memaksa mereka masuk ke kawasan berpenduduk sehingga memicu konflik manusia dan gajah, yang sering berakhir dengan kematian gajah dan manusia, kerusakan lahan kebun dan tanaman dan harta benda.

Dalam seperempat abad terakhir ini estimasi populasi gajah Sumatera di Propinsi Riau, yang telah lama menjadi benteng populasi gajah, menurun sebesar 84% hingga tersisa sekitar 210 ekor saja di tahun 2007. Jika kecenderungan ini terus berlanjut dan dua lansekap hutan luas yang masih tersisa, Tesso Nilo dan Bukit Tigapuluh, tidak dilindungi maka populasi gajah Riau tidak akan bertahan lebih lama lagi dan akan mengalami kepunahan lokal.

Pengembangan industri pulp dan kertas serta industri kelapa sawit adalah salah satu pemicu hilangnya habitat gajah di Sumatera. Pembangunan perkebunan sawit mendorong terjadinya konflik manusia-satwa yang semakin hari kian memuncak. Pohon-pohon sawit muda adalah makanan kesukaan gajah dan kerusakan yang ditimbulkan gajah ini dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan (umumnya dengan peracunan) dan penangkapan. Ratusan gajah mati atau hilang di seluruh Propinsi Riau sejak tahun 2000 sebagai akibat berbagai penangkapan satwa besar yang sering dianggap ‘hama’ ini.

Melindungi kawasan hutan yang tersisa merupakan hal yang sangat penting agar kelangsungan hidup populasi gajah Sumatera dapat terus berlanjut. Koridor-koridor satwa liar dalam kawasan hutan harus dipertahankan atau diciptakan kembali sehingga dapat menyediakan wilayah yang aman bagi gajah untuk memperoleh sumber-sumber makanan baru dan berkembang biak.

No comments:

Post a Comment